Kamis, 27 Maret 2014

Inilah saatnya


Saat membaca surat dari atasan saya yang merupakan balasan dari permohonan pengunduran diri sebulan yang lalu, tak cukup sekali membacanya. Ingatan saya kembali terbawa pada 14 tahun yang lalu, tepatnya 14 th 8 bulan, tak terpikir waktu itu bahwa saya akan berhenti di tengah jalan. Saat itu khayalan saya adalah: saya akan pensiun di umur 60th, saat anak-anak saya sudah di perguruan tinggi bahkan si sulung sudah bekerja, lalu tabungan saya sekian untuk bekal hari tua saya, sayapun masih mendapatkan uang pensiun setiap bulan dari perusahaan ini.

Namun ternyata dinamika kehidupan tidak pernah dapat kita ramalkan sebelumnya. Semesta membawa saya pada saat ini, dimana saya harus memilih. Sebagai orang kampung yang masuk ke Jakarta, bekal saya hanya kebulatan tekad untuk bekerja jujur dan mandiri, tidak bergantung kepada orangtua. Saat itu saya bukan siapa-siapa. Dan karena bekerja di perusahaan ini, akhirnya saya memiliki rumah untuk berteduh, saya mempunyai kehidupan yang layak. 

Di perusahaan ini pula saya pernah mengumpat, saya pernah tertawa , sayapun pernah menangis dan akhirnya saya mengucap syukur. Setelah sekian tahun berjalan, tentu saya perlu waktu untuk memutuskannya , untuk mempunyai keberanian memutuskan ini tidaklah mudah. 

Haru menyelimuti hati saya saat teman-teman dari bagian-bagian lain secara bergerombolan 
dan bergantian, berdatangan mengucapkan selamat tinggal untuk saya. Mereka masih mengingat saya.  

Saya tahu, tidak ada keputusan yang salah dalam hidup ini, semua akan mengalir melalui muara2nya. Inilah saatnya, saya... dengan dunia baru. 



Rabu, 19 Maret 2014

Kita adalah apa yang kita miliki


Untuk memahami hubungan, perlu ada kesadaran yang pasif, yang tidak menghancurkan hubungan. Sebaliknya, kesadaran itu membuat hubungan menjadi jauh lebih vital, jauh lebih bermakna. 

Lalu di dalam hubungan itu ada kemungkinan bagi kasih sayang sejati: terdapat kehangatan, rasa dekat, yang bukan sekadar sentimen atau rasa-tubuh. Dan kalau kita dapat mendekati secara itu, atau berada dalam hubungan terhadap segala sesuatu, maka masalah-masalah kita dapat teratasi dengan mudah -- masalah harta benda, masalah milik.

Oleh karena kita adalah apa yang kita miliki. Orang yang memiliki uang adalah uang itu. Orang yang melihat dirinya dalam harta bendanya adalah harta benda itu, atau rumah, atau perabot. Begitu pula dengan gagasan, dengan tokoh; dan bila terdapat kepemilikan, tidak ada hubungan.

Tetapi kebanyakan dari kita memiliki oleh karena kita tidak punya yang lain jika kita tidak memiliki. Kita adalah kulit yang hampa bila kita tidak memiliki, bila kita tidak mengisi hidup kita dengan perabot, dengan musik, dengan pengetahuan, dengan ini-itu. Dan kulit itu membuat banyak gaduh, dan kegaduhan itu kita sebut hidup; dan kita merasa puas dengan semua itu.

Dan bila terdapat gangguan, bila semua itu meninggalkan kita, lalu terdapat kesedihan, oleh karena pada saat itu Anda tiba-tiba menyadari diri Anda seperti apa adanya -- sebuah kulit hampa, tidak punya banyak makna.

Jadi, menyadari seluruh isi hubungan adalah tindakan; dan dari tindakan itu ada kemungkinan bagi hubungan yang sejati, ada kemungkinan untuk menemukan kedalamannya yang besar, maknanya yang besar, dan mengetahui apa itu cinta.

J Krishnamurti
Buku Kehidupan: Hubungan
18 Maret



diambil dari https://www.facebook.com/hudoyo?fref=nf

Selasa, 18 Maret 2014

Everything happens for a reason

Everything happens for a reason.

Selama 5 hari, saya belajar yoga di Bandung. Tidak hanya sekedar belajar yoga sebagai sebuah bentuk olahraga/senam, tapi juga belajar tentang spiritualisme, filosofi yang terkandung di dalamnya. Master saya (saya senang menyebutnya master, karena memang dia master banget di bidang ini), bicara bahwa tidak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Semua sudah diatur, digariskan sedemikian rupa, sehingga kita tinggal menjalaninya saja.

Beberapa tahun yang lalupun, tidak ada dalam pikiran saya, bercita-cita menjadi seorang guru yoga, juga bercita-cita mempunyai sekolah musik. Semua terjadi begitu saja. Sepertinya "sesuatu di sana" memanggil-manggil saya untuk melakukan ini, sekarang. 

Kalau saya sudah berada pada pencapaian sekarang ini, secara emosi, mental, spiritual, jasmani dan rohani, itu karena saya telah melewati masa lalu saya. Maka saat ini saya berterimakasih kepada masa lalu saya, kepada masa kecil saya yang harus bepindah-pindah kontrakan karena orangtua belum punya rumah sendiri, berterimakasih kepada orang-orang yang pernah membuat saya marah, sedih, kecewa, iri dan sebagainya. Juga berterimakasih kepada orang yang pernah mencintai dan saya cintai, terima kasih kepada guru yang pernah mendidik saya, guru akademis maupun guru alam. Semuuanyaaaa tak bisa saya sebut satu per satu.... 

Kemaren, saya merasakan de javu. Seolah-olah saya pernah mengalami hal ini. Saya tau master saya akan bicara tentang A setelah bicara mengenai B. Dan.. benar. Berarti, jalan ini memang harus saya lewati. Berarti memang keputusan ini bukan semata-mata "saya" yang membuat. "Sesuatu" di sana menanti saya. Berarti memang semua yang telah saya lalui membawa saya pada saat ini. Ke-Kini-an ini. Semesta begitu luar biasa.


Senin, 10 Maret 2014

Hadapi Fakta dan Lihat Apa Yang Terjadi


Kita semua pernah mengalami rasa kesepian hebat, ketika buku-buku, agama, dan segala sesuatu lenyap dan kita merasa kesepian, hampa secara hebat di dalam batin. Kebanyakan dari kita tidak mampu menghadapi kehampaan itu, kesepian itu, dan kita melarikan diri darinya. 

Kita lari kepada ketergantungan, bergantung pada sesuatu, oleh karena kita tidak berani berdiri sendirian. Kita memerlukan radio, televisi, buku, ngobrol, bergunjing ini-itu tanpa henti, tentang seni dan budaya. Jadi, kita sampai pada titik yang di situ kita tahu ada rasa isolasi-diri yang luar biasa ini. 

Kita mungkin punya pekerjaan yang sangat baik, bekerja dengan keras, menulis buku, tetapi di dalam batin terdapat kevakuman yang hebat. Kita ingin mengisinya, dan ketergantungan adalah salah satu jalannya. 

Kita memanfaatkan ketergantungan, hiburan, kegiatan tempat ibadah, agama, minuman keras, perempuan, dan selusin hal lagi untuk mengisinya, menutupinya. Jika kita melihat bahwa adalah sia-sia untuk mencoba menutupinya, sama sekali sia-sia --bukan secara verbal, bukan dengan keyakinan, dan dengan demikian dengan kesepakatan dan tekad-- tetapi jika kita melihat absurditas total dari hal itu ... maka kita berhadapan dengan suatu fakta. 

Soalnya bukan bagaimana membebaskan diri dari ketergantungan; itu bukan fakta; itu hanya reaksi terhadap fakta. ... Mengapa saya tidak menghadapi fakta itu dan melihat apa yang terjadi?

Sekarang masalahnya adalah si pengamat dan yang diamati. Si pengamat berkata, “Saya hampa; saya tidak suka itu,” dan lari darinya. Si pengamat berkata, “Saya lain dari kehampaan.” 

Tetapi si pengamat adalah kehampaan itu; bukan kehampaan yang dilihat oleh si pengamat. Si pengamat adalah yang diamati. Terdapat revolusi hebat di dalam berpikir, di dalam merasa, apabila itu terjadi.

J Krishnamurti
Buku Kehidupan: Kelekatan
10 Maret


*Diambil dari wallnya Pak Hudoyo Hupudio, https://www.facebook.com/hudoyo

Kembali ke Melaca

Memenuhi keinginan terpendam saya setahun yang lalu, akhirnya pada 5-7 Maret yang lalu saya kembali menginjakkan kaki ke Melaka. Kota yang tenang, eksotik dan romantis. 

Kali ini saya sengaja menginap di sebuah losmen sederhana yang ada terasnya supaya saya bisa berlama-lama duduk di tepian sungai ini.

Ngobrol, terkadang terdiam. Teringat hal-hal yang sudah berlalu, sadar, kemudian melepaskan. Lalu tersenyum sendiri.

Sungai Melaka di malam hari
Pagi di sana lamban munculnya. Jam 7 pagi matahari masih enggan bersinar, sehingga seperti jam 5 pagi waktu wib. Kami bertiga, pelaku meditasi memanfaatkan suasana yang tenang ini untuk menziarahi batin sejenak.

Kehidupan berjalan seperti arus sungai ini. Yang sudah terbawa arus, biarlah lewat begitu saja.