Selasa, 08 Oktober 2013

Belajar dari awan

Mari kita belajar menatap awan. Hampir setiap pagi pada hari-hari ini, kita bisa melihat langit biru dengan awan gemawan. Kawanan-kawnan kecil awan putih bergerak lembut bersama angin dan memancarkan kilau mentari pagi. Kita senang sekali setiap pagi ditemani oleh tari-tarian awan putih di cakrawala. "Oh, betapa indah pagi ini!". Lama-kelamaan, makin banyak kawanan awan bergabung, dan langit biru yang cerah berubah menjadi gelap. Kita menjadi sedih. "Oh, sahabatku, awan putihku, mengapa engkau pergi? Mengapa engkau meninggalkan aku sendiri?.

Hujan turun ke bumi membuat kita menangis. Suara tangisan kita menghentak-hentak seperti suara air hujan menjejak bumi. "Oh, dimanakah engkau sahabatku, awan putihku?. Mengapa engkau pergi meninggalkan aku sendiri?".

Ketika hujan mencapai bumi, air mengalir bersama sungai menuju ke lautan. Pada malam yang sunyi, suara tangisan kita terdengar nyaring, menghentak-hentak seperti suara gelombang sungai memukul-mukul dinding-dinding bebatuan di tepiannya. "Oh, di manakah engkau sahabatku, awan putihku? Mengapa engkau pergi meninggalkan aku sendiri?."

Ketika air sungai sampai di lautan, jadilah samudra raya. Kesedihan dan tangisan kita belum mereda. Namun, sinar mentari menghangatkan samudra raya dan semudra raya memberikan uap air sebagai jawaban terima kasih. uap air ini dibawa angin ke atas dan jadilah awan. Setelah semalaman menangis, pagi itu kita kembali bergembira. Kita kembali melihat sahabat kita, kawanan awan putih di cakrawala.

Sebenarnya kita tidak harus menunggu sehari, setahun atau seribu tahun untuk kembali melihat awan putih. Saat ini pula, kita bisa menatap awan. Saat langit biru menjadi gelap, dimanakah awan putih? Saat hujan turun, air sungai mengalir dan berhenti di samudra raya, dimanakah awan putih? Bukankah ia tetap ada, hanya tersamar di balik langit yang gelap, hujan, air sungai dan samudra raya? Jadi, kapankah awan putih itu lahir dan mati? Ia tidak lahir dan tidak mati. Ia hidup di balik langit gelap, hujan, air sungai dan samudra raya. Dengan menatap dalam-dalam langit yang gelap, hujan, air sungai dan semudra raya, kita melihat awan putih berarak. Ia selalu menemani kita.

*dikutip dari buku Revolusi Batin adalah Revolusi Sosial (J. Sudrijanta. S.J)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar