Senin, 30 Januari 2012

Cerita



Saya mau cerita tentang seorang teman. Teman saya ini boleh dibilang sudah mapan. Sangat mapan malah. Dia punya posisi di kantor, dia punya rumah, dia punya mobil, dia punya simpanan segudang, tampang juga tidak jelek. Kemaren saya ngakak, karena dia "curhat", kenapa pacaran tidak pernah berhasil. Selalu kandas di tengah jalan. Entah karena beda suku, beda kesenjangan sosial, tapi seringnya karena beda agama (saya bosan dengan alasan spt ini).

Saya juga tidak tau kenapa secara reflek saya ngakak. Mungkin karena saya sudah bosan, seringkali saya diceritain tentang cewek barunya, dan saya tau pasti tidak "jadi" lagi. Maka begitu dia cerita, saya malah ngakak. Karena dari dulu ya begituuuuu saja, Empati saya luntur karena sudah sangat terbiasa dengan cerita itu..

Mungkin, di dunia ini, ada yang ditakdirkan untuk hidup sendiri. Tidak ada salahnya bukan hidup sendiri? Dia malah punya waktu banyak untuk dirinya sendiri, lebih-lebih bisa berkarya untuk sesamanya dengan total.

Ada yang ditakdirkan menikah, tapi tidak diberi keturunan? Untuk apa coba? Mungkin dia harus mengadopsi seorang anak yang terlantar, sehingga satu nyawa terselamatkan. Sehingga anak itu boleh merasakan kehidupan sewajarnya, bisa dibesarkan dalam kehangatan sebuah keluarga. Kalau yang seperti ini ada 10? Berarti 10 nyawa terselamatkan.

Masing-masing kita punya peran masing-masing dalam kehidupan ini. Apapun yang terjadi , apakah harus mengutuk-i nasib? Apakah harus selalu memikirkan mengapa kehidupan tidak berjalan serperti yang kita mau?


Selasa, 24 Januari 2012

Sakaw

Setelah jadwal ketemu dokter mundur, karena tanggal merah, (dokter juga perlu cuti :D), akhirnya kmrn saya pergi berobat. Kudu sembuh sblm weekend ini. Dokter nanya, punya sakit maag engga bu? Saat itu saya jawab, tidak. Lupa kalo asam lambung gampang naek.

Alhasil, setelah minum obat, badan ndak karu-karuan deh. Mual. Gemeteran. Sakaw saya. Hahahah apa faktor usia juga ya.Hari ini saya ngantor. Brrr... AC di kantor dingin. Jam makan siang sengaja saya makan siang di luar biar bisa kena sinar matahari. Ternyata mendung. Tapi lumayan lah bisa melarikan diri dari AC, walo sebentar.

Keluar kantor berempat, pulangnya saya sendiri, 3 teman saya ngacir ke bazar komik. Senangnya bisa berada di tempat ini. Kalau ada bazar seperti itu, satu komik kadang cuma dihargai 5000. Beberapa teman saya sengaja belanja buku-buku murah seperti itu, kemudian dijual lagi. Dulu saya juga suka mborong  dan langsung beralih tangan ke keponakan, atau adik. Tanpa saya baca terlebih dahulu. :D. Karena saya kurang suka membaca komik.

Andai saja tiap ada bazar, ada buku tentang sastra atau seni kehidupan yang bisa dikutip dari buku-buku teologi, atau buku yang membahas tentang semesta, atau semacamnya, pasti saya membelinya.*ngarep.com.

Yah, raga ini memang tempatnya untuk penyakit. Mesti sadar.Well, sekarang saatnya dopping biar badan segar kembali. Menjadi sehat itu enak.  So many things are waiting to be done.


Jakarta, 25 Januari 2012


Minggu, 22 Januari 2012

Celotehan anak lelakiku

Waktu itu hari Minggu pagi, di komplek tempat saya tinggal, sudah ramai dengan suara anak-anak. Kebetulan depan rumah saya adalah lapangan. Anak sulung saya, Aaron, 8 th sudah kepengen bergabung dengan teman-temannya. Namun, karena hari Minggu pagi itu kami akan ke gereja, maka timbullah percakapan seperti ini:

Aaron: Mama, aku jd muslim saja deh
Mama: Ya sudah, jadi mulai besok, kaka bangun jam 4 pagi. Sholat subuh ya. Jadi orang Islam itu harus berdoa sehari lima kali.
Aaron: Emang gitu?
Mama: Lho, lihat saja mbak Fitri (staff rumah tangga kami)
Berarti besok lesnya tambah, selain les drum dan les pelajaran, ada les baca Alquran, karena mama engga bisa ngajari kaka.

Habis itu dia kelihatannya mikir.

Jika dia dewasa kelak, terserah dia mau menganut agama apa. Itu wilayah yang paling pribadi, bahkan saya sebagai orangtuanyapun tidak berhak untuk mengatur dan menentukan.

Yang terpenting adalah, apakah yang dia perbuat berguna untuk sesama?Apakah tindakannya mencelakakan orang lain? Apakah yang diucapkan menyakiti orang lain?

Kalau cara seseorang berelasi kepada alam dan sesamanya baik, tidak harus melihat dia bergama apa bukan? Begitu juga jika orang tersebut melakukan perbuatan yang merugikan sesama. Baik ya baik saja. Jahat ya jahat saja. Jadi, marilah melihat manusia sebagai manusia, tanpa embel-embel agama apa.

Tidak ada satu agamapun yang paling benar diantara lainnya. Jika masing-masing penganutnya masih menganggap punyanya adalah kebenaran yang paling benar, kapan kedamaian itu hadir?



Bekasi, 23 Januari 2012






Menyepi


Saya suka suasana pegunungan nan hijau. Di tempat seperti ini biasanya hawanya sangat dingin. Sebenarnya bertetangan dengan penyakit sinus yang saya miliki.hehehe Tapi tetap saja saya ingin berada di tempat seperti itu. Sepi, jauh dari keramaian dan rutinitas. Yang ada hanya suasana hening dan suara-suara alam yang menemani. Rasanya menyatu dengan semesta ini.


Akhir minggu ini, saya dan teman-teman, bersama dalam keheningan itu. Mudah-mudahan sinus saya tidak menjadi. Sahabat saya mengatakan bahwa saya aneh. Hobby kok "menyepi". Dia hobby jalan-jalan dan dia senang sekali berada di keramaian.Sementara saya, kalau bisa,  malah menciptakan "sepi" di tengah keramaian. Kami bersahabat, walau hobby kami berbeda.

Kalau semua sama, kalau semua sepaham, isi dunia ini tidak seru. Perbedaan itu perlu. Yang dibutuhkan hanya menyadari perbedaan itu.

Bagi saya, menyepi adalah untuk keseimbangan hidup. Ada saatnya saya bersosialisasi dengan lingkungan, teman kantor, tetangga, dll. Tapi ada saatnya juga saya hanya bersama dengan batin saya sendiri. Meskipun saya ke tempat itu bersama dengan teman-teman, tapi kita tidak saling berbicara satu sama lain. Minimal retret semacam ini diadakan selama 2 malam, 3 hari. Lepas dari hp, bb, dan kontak dengan luar.

Bagi yang belum pernah  mengikuti retret meditasi semacam ini, tentu akan sangat heran. Ngapain 3 hari tidak berbicara? Ini termasuk retret paling singkat. Ada yang 5 hari dan 10 hari. Ah, saya pengen ikut yang 10 hari di Vihara Mendut. (kalau bisa cuti :D). Di sana, kami tidak membicarakan satu ajaran agama tertentu. Pesertanya datang dari berbagai penganut agama - islam, kristen, katolik, buddha.emmm.. menyenangkan bukan?

Yuk, dicoba saja.


Bekasi, 22 Januari 2012




Kamis, 19 Januari 2012

Rupa-rupa

Kisah pertama, A, seorang suami dari istri yang sakit parah-konon sudah bertahun-tahun sakitnya, bapak dari 3 anak. Dekat dengan B, seorang wanita lajang.

Kisah kedua, C, seorang suami dengan 2 anak. Sementara anak dan istri tinggal di kota lain. Dekat dengan D, seorang lajang. Konon, mereka tinggal dalam satu tempat kontrakan yang sama.

Kisah ketiga, E, seorang suami dengan 2 anak juga, anak dan istri tinggal di kota lain. Dekat dengan F, wanita lajang yang sudah berumur.

Orang-orang menyebut ketiga pasangan itu berpacaran atau selingkuh. Saya tidak pernah mengiyakan, atau mengamini, karena belum pernah saya melihat dengan mata kepala sendiri, perihal kelakuan mereka. Ada satu pasangan dr tiga pasangan di atas, sering saya lihat pergi dan pulang bareng. Sarapan, makan siang bareng. Entah di luar hari kerja deh. hehehehe

Kisah keempat, G, laki-laki, seorang manager, anak satu. Kehidupan sangat mapan. Sang istri juga bekerja di tempat yang sama, namun beda bagian. Kabar yang terdengar oleh telinga saya ini, bahwa sang manager sering melecehkan wanita-wanita di kantor tempat dia bekerja. Ini menurut pengakuan dari beberapa korban. Ada korban yang sudah dikeluarkan juga oleh ybs. Duh, kasihan benar nasib para wanita ini.

Kalau 3 pasangan di atas, andai benar, jelas-jelas dilakukan karena suka sama suka. Yang parah adalah yang keempat.

Dari semua itu,masalahnya sebenarnya ada dimana? Saya pernah membaca sebuah artikel, wanita yang berselingkuh lebih berbahaya daripada pria. Biasanya, wanita melakukan itu karena ketidakpuasan kepada pasangan, tidak merasa diperhatikan dll. Sehingga wanita akan main hati (benar2 jatuh cinta), sementara pria, mungkin tidak ada masalah dalam kehidupan rumah tangganya. Ini hanya karena pria butuh untuk memuaskan nafsu atau butuh perhatian juga.

Jika benar, alasan pria seperti itu, rugi saya, jika saya melakukannya. Coba dilihat kembali dari tiga pasangan di atas, dua karena istri jauh, satu karena istri sakit keras. Jadi, untuk apa wanita lain di luar penikahannya itu? Anda jawab sendiri ya..

Jujur saya akui, bukannya saya tidak pernah mengalami ketertarikan dengan yang lain. Pernah. Tapi cukup sudah. Walaupun saya wanita, tapi logika saya lebih berperan.

Komitmen kehidupan berumahtangga, dalam suka dan duka, till death do us part.

Selasa, 17 Januari 2012

Obrolan

Sore ini saya bbm-an dengan seorang teman. Kita sering nggambleh apa saja. Nah, sore tadi kita menyinggung tentang meditasi. Dia juga pelaku meditasi, namun sepertinya sedikit berbeda dengan yang saya lakukan . Akhir bulan ini saya mengajak dia untuk menyepi bersama, saya akan biarkan dia kenal dengan meditasi tanpa obyek yang saya lakoni. Tapi akan melakukan dengan cara yang mana, itu terserah dia.Tidak semua orang cocok dengan satu hal yang sama.

Jadi begini cuplikan obrolan kami,:
Teman : 
jangan lupa sblm meditasi berdoa dulu,, permintaanmu apa? supaya keinginanmu itu terkabul
Saya    : (saya tertawa).
memang harus begitu Jo? Jadi, nanti kalau permohonan kita terkabul, lalu kita bersyukur ya? Kalau tidak terkabul, gimana? Marah-marah? Kecewa?
Teman  :
dikandhani ngeyel

Apakah berdoa itu untuk terus menerus "meminta". Kenapa berdoa tidak untuk mengucap terima kasih saja? Jika kita dalam kesulitan, kesusahan, menurut saya, cukup tinggal dalam rasa itu, maka semua kesulitan dan kesusahan akan terurai dengan sendirinya. Baru saya sadar belakangan setelah mengenal meditasi, orang Jawa suka bilang, "sing sareh, mengko mesti ana dalan" Dalam bahasa Indonesia artinya, "sabarlah, nanti pasti ada jalan keluarnya". Ada kepasrahan di sini. Pasrah tp tidak menyerah.

Saya tidak asal ngomong, tp karena saya seringkali mempraktekkannya.Kalau dinalar, kadang juga tidak masuk akal. Tapi, begitulah kenyataannya.

Sesulit apapun hal yang sedang saya hadapi, semakin galau saya, semakin dalam saya silentium.  Doa yang saya lakukan hanya hening. Semesta yang mengatur semuanya. Di situlah keberadaan tuhan sepertinya.

 "tidak melihat-namun percaya"


Bekasi, 17 Januari 2012














Sabtu, 14 Januari 2012

Hobby baru

Hobby baru saya ternyata menyenangkan. Walau masih coreng moreng, menulis itu menjadi hiburan tersendiri. Kadang menulis saya lakukan di kala saya sendiri, malam, dan sambil mendengarkan musik.

Sekarang saya menanti malam, di saat semua tugas saya kelar. Malam hari serasa hanya untuk saya seorang. (kalau badan lagi engga capek sih :D).

Jadi, setiap harinya, Senin sampai Jumat, tugas saya dibagi menjadi tiga. Jam 8-17.00 saya sebagai karyawan kantor, jam 18.30-21.30 saya sebagai ibu yang menemani anak-anak belajar, bercanda sambil menonton televisi. Jam 22.00 ke atas, saya sebagai pengelola sebuah sekolah musik dan berikut merambah event organizer untuk pementasan musik sekaligus saya sebagai saya sendiri. Jam 22.00 ke atas saya gunakan untuk membuka social network, menulis, membaca, atau menggitar (maksa :D).

Saya juga tidak tau kalau ini akan menjadi kehidupan saya. Saya percaya bahwa there is no accident in the past. Semua yang terjadi pada masa lalu, adalah persiapan kita menjadi seperti sekarang ini. Apa yang kita jalani sekarang ini, adalah persiapan untuk masa yang akan datang. Sebagai manusia, saya tinggal melakoni saja peran-peran itu di saat sekarang,dan hanya pada saat ini saja. Masa depan tidak usah dipikirkan (walau kadang saya membayangkan). Masa lalu biarlah ada di tempatnya, dia sudah berjasa untuk saya.

Begitu bukan? Itu permenungan saya, dan karena saya sekarang punya hobby baru, yaitu menulis, maka segala permenungan, pemikiran akan terabadikan dalam sebuah tulisan.








Tulisan seorang sahabat

Saya mempunyai seorang sahabat. Dia seorang jurnalis. Saya suka membaca tulisan-tulisannya, maka saya jadi ketularan hobby menulis.


Beginilah kalau dia menulis (dari blog www.tjapoenk.blogspot.com):

Natal


Natal baru saja lewat.  Bukan melewatinya di gereja, saya justru "bersemedi" di Vihara Mendut, tempat berdoa orang Budha. Tak hanya mereka yang Kristiani, bersama saya, malam Natal yang saya lalui  bersama teman Muslim, Kristen, Hindu, Budha, dan atheis. Kami bersama dalam diam.


Sudah dua tahun ini, perayaan Natal tidak saya habiskan bersama keluarga. Apakah hidup saya merasa tidak lengkap? Saya sedih? Saya merasa kosong. Tidak.  Biasa saja. Natal bagi saya sama seperti hari-hari lain. Begitu pula Lebaran, Waisyak, Idul Adha dll. Mengapa begitu?


Sebenarnya tulisan ini penting nggak penting. Tapi pada akhirnya saya perlu menuliskannya, karena teman-teman yang sama-sama mengikuti meditasi menganggap ini perlu dibagikan. Soal penting atau tidaknya, dianggap nyampah atau  tidak, monggo saja.


Saya ingin flash back berpuluh tahun silam ketika Natal, Lebaran, Paskah, Idul Adha menjadi perayaan yang begitu saya tunggu-tunggu dan  menyenangkan. Karena saya merayakan Natal, maka membeli pakaian baru, menghias gua, menata kue-kue, menyiapkan permen, dan menukar uang recehan untuk dibagikan anak-anak kecil yang berkunjung ke rumah kami sungguh menyenangkan.


Pada Misa Malam Natal, meski kadang terkantuk-kantuk karena lamanya  beribadat hingga 2,5 jam, tetap semangat hingga  peribadatan bubar. Nah ini dia puncaknya. Sejak pagi, tamu-tamu berdatangan, mengucapkan selamat Natal dan ikut bergembira bersama kami. Tidak hanya mereka yang Kristiani. Lingkungan rumah yang mayoritas Muslim juga hadir bersama kami. Menyantap kue. Setelah itu, obrolan berpindah  ke meja makan. Karena Natal tidak seperti Lebaran yang identik dengan ketupat, maka biasanya menu keluarga kami opor ayam, gule kambing, rolade, sop usus,  ayam goreng dll.


Begitulah perayaan Natal di kampung saya yang membekas. Sebaliknya pada perayaan Lebaran, gantian kami yang berkunjung ke kerabat dan  tetangga kami.  Waktu lebaran tentu buat saya yang masih anak-anak sama   menyenangkannya seperti Natal.  Ketupat yang cuma disantap setahun sekali, empek-empek, tekwan, rendang menjadi menu favorit saya. Belum lagi kue lapis legit, kue 12 jam yang alamak, rasanya tiada yang menandingi bikinan  Uwak Harun, orang Asli Sumatera.


Dasar anak jahil, saya "mencireni" (menandai) keluarga mana saja yang menyediakan empek-empek, tekwan atau rendang yang rasanya maknyus pada menu Lebarannya. Nah, sialnya, keluarga ini selalu bagian tengah atau bagian terakhir yang mesti di silaturahmi orangtua saya.


Padahal setiap kami bertamu, tentu kami harus menyantap kue yang tersedia. Dalam tradisi, tamu yang tak menyantap menu  yang disediakan pemilik rumah sebagai bentuk ketidaksopanan. Tak kurang akal, agar perut tetap kosong di tempat keluarga yang menunya saya sukai, maka saya mengambil kue satu-satu tetapi mengunyahnya lamaaaaaaa betul....Hihihihiih... Dengan begitu si pemilik rumah seolah-olah melihat saya makan terus. Pilihan saya biasanya kacang bawang atau kacang atom, benda kecil tetapi  nggak habis-habis kalau dikunyah.


Nah, begitu silaturami bergiliran sampai kepada keluarga yang menunya saya  "favoriti",  langsung hantam kromo. Menu itu saya jajali satu-satu, empek-empek, tekwan, dan rendang. Hahaha. Benar-benar ndak mengenal sopan santun. Tapi kenangan lebaran yang guyub,   begitu membekas dalam ingatan saya. Toleransi beragama pada masa itu tidak pernah diteriakkan seperti masa sekarang ini. Toleransi berlangsung alamiah, apa adanya.


Saya ajak flash back ke pertengahan tahun 1990-an. Saya terkaget-kaget ketika jangankan bersilaturahmi ke tetangga-tetangga, menerima ucapan Selamat  Natal atau Paskah saja, merupakan pemandangan langka. Tak hanya di  kalangan awamnya saja,  tetapi juga menembus teman-teman intelektual. Saya mencari jawab.  Belakangan, di salah satu Mesjid yang saya dengar melalui pengeras suara, mereka melarang untuk memberikan ucapan Natal karena haram.


Tahulah saya penyebabnya. Saya frustasi. Beberapa waktu saya mengalami pergumulan.  Apa yang salah dengan kami ya?.  Dari perbincangan itu, pelan-pelan saya mendapatkan jawab bahwa kami para Kristiani tidak layak diberi ucapan selamat karena "kafir" men-Tuhan-kan Yesus yang bagi saudara Muslim hanya Nabi Isa Almasih. Oh begitu toh, masalahnya.


Belakangan, tidak cuma soal haram dan halal soal ucapan Natal.  Dari omong-omong dengan mereka, perbincangan melebar ke surga dan neraka. Beberapa teman mengajak saya pindah agama, karena menurut mereka, hanya Muslim yang bisa masuk surga. Pada saat yang sama, teman-teman Kristen Protestan juga tak kalah kencangnya mempromosikan surga yang cuma "monopoli" mereka. "Hanya orang yang percaya pada Yesus yang bisa masuk  surga"


Waduh. Tuhan-nya siapa nih yang benar? Kalau surga hanya monopoli agama tertentu, mengapa penciptaan manusia  dengan berbagai  kulit, ras, suka, budaya terus dilakukan? Masak sih, penciptaan itu bertujuan untuk penyeragaman? Kalau begitu bodoh-bodohannya, seharusnya penciptaan semesta ini harus seragam berkulit putih saja, atau semua ras dan budaya seragam, tak ada yang berbeda? Atau jika surga itu hanya milik agama tertentu, Tuhan menciptakan neraka untuk yang lain. Berarti Tuhan nggak adil dong hehe.


Kembali lagi ke Natal yang  guyub, memperlihatkan toleransi beragama pada masa kecil, akhirnya hanya menjadi kenangan atau nostalgia semata. Kebiasaan kunjung mengunjung meski masih ada hanya didominasi oleh kerabat yang seiman saja.  Natal atau lebaran sudah tak lagi menarik untuk saya. Dalam perjalananya,  saya menyadari satu hal. Kita tak bisa mengubah obyek apapun di luar kita. Jadi  cukup menyadarinya saja. Tidak menilai apapun. Menganggap semua obyek itu sama. Tidak mudah memang.



Dalam konteks haram dan halal ini, kepada teman-teman yang merasa "terpaksa" mengucapkan Natal karena takut berdosa sementara kami  terlanjur sudah bersahabat selama bertahun-tahun, saya menyampaikan dengan terbuka. "Jika persahabatan terganggu hanya soal haram dan halal karena ucapan Natal, jangan lakukan. Biarkan persahabatan kita tak terbebani dengan urusan ucapan semata." Saya pun tak pernah menunggu lagi dengan harap-harap cemas seperti bertahun-tahun lalu.


Tak semua teman Muslim begini. Masih banyak  teman-teman  Muslim yang dengan ringan menyampaikan. "Hai...selamat Natal ya? Bahagianya sama ketika meminta teman untuk tak perlu mengucapkan Natal pada saya. Tidak ada penilaian.


Sejak mengubah sudut pandang ini, saya bertanya kembali pada batin saya yang terdalam. Merasa berdosakah kamu ketika menganggap Natal tak lagi peristiwa penting? Merasa tidak enakkah setelah melepaskan semua penilaian itu tentang segala keagamaan? Merasa bersalahkah  ketika  Natal tidak bersama keluarga?  Tidak ke gereja? Dan masih banyak hal yang saya pertanyakan, termasuk relasi dengan teman-teman yang berlebaran.  Saya merasakan batin saya tenang. Sama tenangnya ketika saya masih ke gereja, dan lain-lain. Saya percaya Tuhan sejati bisa ditemukan dalam batin yang terdalam, yang tidak ada lagi ego dalam diri kita. Dalam bahasa Meditasi, ketika pikiran berhenti, hanya kesejatian yang ada. Itulah Tuhan yang sejati.


Ah ya, ketika memutuskan menuliskan ini (semoga tidak dianggap menggurui) saya ingin mengajak siapapun yang membaca ini untuk keluar sebentar saja dari entah itu ajaran, dogma, tradisi, ritual atau apapun labelnya. Mari kita menengok ke dalam batin. Rasakan reaksi batin itu. Sederhana saja. Jika kamu percaya bahwa mengucapkan Natal itu haram atau dengan label apalah, coba sekali saja mendobraknya. Satu hari saja, dan lakukan pada satu orang saja. Ulurkan tangan pada satu teman yang ber-Natalan.  Ucapkan "Selamat Natal." Pandangi ekspresi wajahnya setelah mengucapkan itu. Setelah dia berlalu. Diam. Diam. Diam. Rasakan sebentar batin ini. Menolak, merasa berdosa, atau merasa bersalah. Perasaan yang Anda rasakan itu menentukan keputusan Anda selanjutnya. Apakah Anda tetap menganggap mengucapkan Natal sesuatu yang haram, hanya kalian yang tahu selanjutnya :)



Saat ini, bersama teman-teman yang memiliki frekwensi sama, obrolan kami lebih banyak memperbincangkan: Bagaimana ya kalau April nanti harga BBM naik menjadi Rp 8000-an? Apakah Indonesia akan kolaps? Bagaimana ya bisa mensejahterakan diri ini juga masyarakat yang kekurangan. Bagaimana ya agar masyarakat miskin bisa berobat gratis? Dan diskusi selalu ditutup, Yuk, Berkarya! Agar kita sejahtera dan kita bisa mensejahterakan orang banyak. Tanpa sekat agama. Memperbincangkan surga atau neraka yang nggak kelihatan atau  ngawang-ngawang, juga haram dan halal hanya menghabiskan energi.



Yogyakarta, 13 Januari 2012

Rabu, 11 Januari 2012

Waktu Muda

Pukul 20.00 wib para brondong (saya menyebut demikian karena umur mereka setengah umur saya), berkumpul di rumah saya untuk membicarakan rencana pertunjukan musik. Berada di tengah mereka, saya terbawa semangat muda.

Ingat jaman kuliah dulu, saya kurang bergaul dengan teman sebaya. Waktu saya padat untuk kuliah di dua tempat sekaligus. Pagi sampai siang di ISI, siang sampai sore di Sanata Dharma. Jika di ISI ada acara dan butuh latihan rutin, selesai kuliah di Sanata Dharma saya meluncur ke ISI. Berapa kilometer jaraknya, saya lupa. Tapi yang jelas, saya melewati kota Yogyakarta tempat saya tinggal. Sanata Dharma di kota Sleman, sedangkan ISI berada di kota Bantul.

Menjelang tingkat akhir, kuliah saya agak longgar, sehingga saya mencari kesibukan dengan mengajar bahasa Inggris di SD tempat saya sekolah dulu, SD Kanisius Kintelan, juga mengajar vocal di SMK Karya Rini. Sore hari terkadang saya memberikan les private gitar. Malamnya saya ngamen di sebuah hotel di Yogyakarta.

Berat badan saya hanya 37 kg saat itu, dengan tinggi badan 152 cm, bisa anda bayangkan betapa cungkringnya muda saya dulu. hahahhaa.

Semalam, brondong2 itu membawa ingatan saya ke masa 14 th silam. Mudah-mudahan semangat mereka menghasilkan karya yang nyata dan spektakuler. Saya tinggal mendorong dan mengarahkan mereka. Pukul 23.30 mereka pulang, menyisakan senyuman dan rencana-rencana lainnya di kepala saya.

Malam itu saya tutup dengan silentium.

Senin, 09 Januari 2012

Pagi ini

Pagi ini, turun dari kereta, saya berjalan menuju kantor. Perhatian saya tercurah pada sepasang kaki yang menopang saya. Ayunan langkah kaki kanan dan kiri secara bergantian. Saya merasakan otot-otot paha yang sedang bekerja. Terimakasih kaki, yang selama ini sudah menopang tubuh saya, mengantar saya kemanapun diri ini hendak pergi. Ayunan kaki diimbangi dengan ayunan tangan. Seirama. Begitu saja, natural. Telinga saya menangkap suara-suara kendaraan bermotor, klakson, suara kernet bis. Saya juga merasakan kehadiran angin yang tipis menyapa dan menggoyang rambut saya. Tak terasa sampailah diri ini di kantor tempat saya bekerja.

Masuk toilet, cuci tangan. Kucuran air yang dingin menjalar di tangan saya, muka saya. Saya bisa berlama lama mencuci muka dan merasakan segarnya air kran itu. Selanjutnya saya memoles wajah. Tangan ini mengusap muka, mata menatap diri di cermin, melihat gerakan-gerakan tangan. Sempurna. Tuhan menciptakan saya sempurna.

Selesai berdandan. Saya tersenyum kepada diri saya sendiri lewat cermin. Kaki kembali membawa tubuh ini, menuju ruang tempat saya bekerja. Di tempat ini.

Minggu, 08 Januari 2012

Silentium

Secara tiba-tiba, saya merasa sedih. Ada perasaan terluka, kehilangan. Saya masuk kamar, berdiam diri, menyadari kehadiran rasa itu. Saya biarkan air mata menetes. Silentium belanjut, sampai hari ini.

Mengintip Facebook

Malam ini saya bingung mau mengerjakan apa ya? Tadi sore saya berniat untuk menulis, berniat untuk main piano. Tapi karena tadi menemani anak-anak nonton televisi, niat tadi belum terlaksana. Setelah anak-anak tidur semua, waktu ada, tapi saya tidak melakukan apapun. Sambil menulis ini, saya membuka facebook.

Ada salah satu postingan dari pembimbing meditasi yang saya kutib sebagai berikut:
  
T: Romo, jika ada org menghina kita apa yg harus kita lalukan spy pikiran membalas berhenti?


J: Apa pun yg muncul dalam batin: senang, susah, marah, benci, berharap, kecewa, dsb, sadari saja ketika itu muncul. Jangan dilawan kalau tidak enak, jangan dilekati kalau enak. Kalau kesadaran cukup kuat, maka apa pun akan berhenti DENGAN SENDIRINYA, bukan dibuat berhenti. 
Tetapi kalau emosi/pikiran itu terlalu kuat, mungkin perlu beberapa lama agar ia berhenti. Tetapi tetap kata kuncinya: sadar. Tidak ada yang lain.

 
Reflek, niatan untuk membalas itu pasti ada. Saya juga seringkali mengalaminya. Tapi setelah mengikuti MMD, rasanya lucu kalau saya mengikuti rasa itu. Ini bukan berarti saya sudah menjadi orang suci yang tidak bisa sakit hati. Tapi minimal, segera menyadari rasa dan niatan itu.

Ada lagi nih postingan selanjutnya sebagai berikut:
Kalau Anda masih menyenangi berbagai hal di dunia ini, ya jangan dilepaskan, karena yang demikian itu hanya menghasilkan konflik dan malah lebih banyak penderitaan.
Dengan kata lain, kalau Anda masih menyenangi semua itu, ya Anda harus berkompromi dengan pembebasan. Lakukan apa saja, dan sadari segala akibatnya, yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Sampai Anda puas, jenuh atau Anda frustrasi.
Nanti kan satu per satu akan lepas dengan sendirinya, bukan sengaja dilepas; cepat atau lambat, sekarang ketika Anda masih muda, atau nanti kalau Anda sudah tua.
Sekali lagi, yang penting adalah: Sadari apa pun yang Anda rasakan, pikirkan dan lakukan. Itu saja.



Susah ini. Hal-hal yang menyenangkan dan kita harus berkompromi dengan pembebasan. Melepaskan kemelekatan itu susah sekali. :D. Saya masih punya keinginan2 diri.

Ehmm.... manusia memang perlu belajar. Mengintip facebook pun ternyata merupakan proses belajar. Iya kan? Ada hal-hal positif yang bisa dipetik.





Kamis, 05 Januari 2012

Akibat Hujan

Jakarta, terkena hujan dua hari, jalanan langsung kacau. Kemaren sore, berita tentang robohnya pohon dan kemacetan lalu lintas sudah saya dengar menjelang jam kerja saya berakhir. Saya biasa pulang kerja bareng dengan teman-teman omprengan, dimana yang punya omprengan itu juga satu pabrik dengan saya, cuma beda bagian. Penumpangnya juga dari lain-lain bagian.

Kami sudah seperti saudara, karena setiap hari bercanda selama perjalanan pulang. Sore kemaren, saya sudah mempersiapkan diri untuk bermacet macet ria. Jam 17.00 wib kami pulang, sampai perempatan Slipi, ngunci deh.. tidak bergerak. Saya engga tau berapa lama di perempatan itu. Entah mungkin karena saya sudah mempersiapkan diri dan menyadari perjalanan atau karena apa, sehinga saya tidak merasa sebel, tidak merasa capek, tau-tau sampai Bekasi saja.. meski sampai rumah agak malam hehehe..

Selama perjalanan, saya meditasi saja, sambil sesekali membuka mata, melihat antrian orang2 mau naik busway, melihat orang2 berteduh di bawah halte sambil menunggu bus datang, melihat deretan mobil2 yang bergerak sangat lamban. Sesekali menyaut juga kalau teman saya bertanya. Saya menyebut "jurus meditasi" untuk menghadapi berbagai hal di kehidupan ini. Jurus ini sangat ampuh lho. Coba deh Anda praktekkan. Hanya menyadari gerak batin Anda, sekarang, di sini, saat ini, dalam kondisi apapun batin Anda. Senang, sedih, sebel, marah.

Mau.. mau??