Kamis, 29 Desember 2011

Cerita tentang menunggu dan menyuap

Dua hari yang lalu, saya pergi ke sebuah lembaga pemerintahan, untuk mengurusi sesuatu hal yang berkaitan dengan usaha saya. Letaknya sangat jauh dari tempat tinggal saya yang berada di Bekasi. Saking jauhnya, temen saya menyebut tempat ini sebagai tempat pembuangan anak jin. hahaha temen saya itu memang lotjoe.

Jam 8 pagi saya berangkat, sampai lokasi jam 11. Karena saya baru pertama kali ke sana, dan ini kali pertama pula saya mengurus hal ini, maka saya sedikit celingak celinguk. Saya amati, banyak calo yang memang sudah sangat fasih kesana kemari. Tiba di depan loket, saya bertanya tentang persyaratannya, walau ssebenarnya saya juga sudah mempersiapkan semua persyaratannya. Ternyata, form yang saya unduh dari internet, menurut mereka salah, sehingga dengan senang hati saya menerima penawaran mereka untuk diurusin.

Sambil menunggu form2 tersebut selesai diisi oleh petugas, saya diminta untuk membayar di loket sebelah, sebuah bank resmi yang sudah memang berada di situ. Saya mendapat antrian nomor 104. Mulai antri dari jam 11.15, saya melihat para calo ini datang dengan membawa segebok slip pembayaran. Sampai jam 12, antrian baru selesai di nomor 88. Saya pun lapar dan mencari makan siang. Saya berjalan keluar dan tidak jauh dari situ ada yang jual mi ayam. Dasar memang lapar, mi ayam ludes dalam waktu 5 menit saja. Jam 13.00 wib saya kembali mengantri, saya lihat ada dua calo yang memang sudah biasa dengan para petugas tersebut, tidak pakai nomor antrian. Duh, indahnya kolusi dan nepotisme. Sebelah kanan saya seorang ibu dengan nomor antrian 117, dan sebalah kiri saya dengan nomor antrian 124. Mereka meminta tolong kepada untuk nebeng pembayaran. Beuh... ya sudahlah.. Akhirnya jam 14.00 nomor saya dipanggil dan saya membayar untuk 3 orang termasuk saya sendiri. Saya pikir selesai dari membayar di loket kedua ini, saya kembali ke loket pertama dan urusan saya beres mengingat loket pertama akan tutup pada pukul 15.00 wib.

Saya kembali ke loket pertama, menyerahkan bukti pembayaran dan petugas tersebut meminta saya untuk menunggu. Saya pun dengan setia menunggu. Satu jam, nama saya belum dipanggil. Saya bertanya kepada salah seorang di sebelah saya, emmm kalau yang satu ini kelihatannya bukan semata mata seorang calo sih. Dilihat dari penampilannya rapi, mungkin dia adalah seorang dari konsultan hukum. Dan memang benar, dia dari konsultan hukum. Dia bilang,, " kasih uang rokok saja mbak, di sini mah gitu, nyebelin, tp kalau engga, bisa lama". Wah, karena menunggu itu menjemukan dan melelahkan, saya mempersiapkan uang Rp50.000,- dan berniat untuk maju ke loket. Mbak sebelah saya tadi bertanya kepada saya " Mbak, mengajukan berapa aplikasi?". Saya jawab "Satu saja, ini pribadi kok". Kata di mbak, " Wah, sayang kalau Rp 50.000,- dikasih Rp 20.000,- saja cukup. Hehehehe okelah, saya akhirnya maju ke loket dan menyerahkan uang Rp 20.000,-. Uang rokok ini diberikan secara terang2an di depan loket, dan semua mata bisa memandang, uang diberikan tanpa dimasukkan ke dalam amplop. Ternyata, berkas saya sudah siap tinggal diserahkan saja. Walah,...saya pikir, saya akan dipanggil begitu berkas tersebut selesai dikerjakan. Ternyata, menunggu uang rokok dulu. Duh...

Berkas saya terima dan waktu menunjukkan pukul 15.30 saya pikir saya akan bisa segera pulang... betapa kagetnya saya, ternyata ada kesalan pemasangan dalam berkas tersebut. Saya minta untuk diganti, dan kembali saya diminta untuk menunggu. Tiga kali saya bertanya, apakah berkas saya sudah selesai, dijawab oleh petugas,, "sedang dikerjakan, bu". Waktu sudah menunjukkan pukul 16.30 wib, artinya saya sudah satu jam menunggu. Kembali saya memberikan uang rokok Rp 20.000,- kepada petugas dan 10 menit kemudian berkas saya selesai juga. Jam 16.45 saya pulang dengan rasa capek luar biasa.

Kok saya ikut-ikutan menyuap ya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar