Saya selalu senang melihat mata polos mereka. Entah itu anak orang kaya, orang miskin, anak jalanan, anak orang kulit putih, kulit hitam, atau anak orang bule, semua mata mereka, teduh untuk diamati. Semua kanak-kanak, 100% bergantung pada orang dewasa. Mau diapakan, mau dibawa kemana, itu urusan orang dewasa. Mereka hanya ikut saja, termasuk anak-anak dalam bus itu. Sambil membawa jajanan murahan, mereka happy-happy saja dalam gendongan ibunya.
Kalau saya duduk di belakang anak-anak joki 3 in one itu, tangan saya pasti memegang jemari mereka. Dan secara reflek jemari itu meremas jari telunjuk saya (kira-kira bayi umur 6-7 bulan). Sejurus kemudian, rasa syukur menjalari kesadaran saya. Bahwa sampai saat ini saya masih bisa mencukupi kebutuhan anak-anak saya. Bahwa anak-anak saya bisa sekolah, dan bukan di sekolahan alakadar. Bahwa saya masih bisa memuaskan hasrat kekanakannya di mall.
Sebenarnya saya pengen membawa anak-anak saya naik bis, supaya mereka merasakan sesaknya di bus umum. Tapi niatan itu belum kesampaian sampai saat ini. Selalu saja saya tidak tega untuk mengajaknya. Ah, tapi.. kapan-kapan akan saya lakukan.
Saya ingin seperti anak kecil, tidak punya hari esok, tidak memikirkan hari esok. Hidup mereka ada pada saat ini. Anak kecil juga punya emosi. Senang, sedih,marah. Tapi marah mereka hanya saat itu saja, sedetik kemudian tawa sudah menghiasi wajahnya. Begitu juga rasa sedih, cepat berlalu, secepat irama nafas mereka.
Menjadi orang dewasa, sibuk dengan pikiran yang membuat stress. Pikiran yang berisi ketakutan akan hari esok, juga bayang-bayang gelap tentang masa lalu. Saya belajar menjadi anak kecil, untuk hidup pada saat ini saja. Setiap hal yang saya lakukan, sepenuh penuhnya, saya mau untuk saat ini saja.
bener haeee...anak kecil itu cermin kita. thanks sharingnya hari ini ya?
BalasHapussama-sama dear... muuahhh
Hapus